Seminggu Sebelum Hening

Seminggu sebelum kejadian, Armi selalu mengeluh kos ini terlalu riuh. Katanya terlalu banyak bising di kuping yang bikin dia pusing.

Sebenarnya kami bingung, karena kos ini sunyi sesunyi-sunyinya. Bunyinya rasanya malu-malu buat lewat, apalagi bising.

Tapi dia mengeluh dan terus mengeluh, sampai bikin bapak kos kami jenuh. Bapak kos akhirnya memasang peredam kedap suara yang bisa menangkal bising apa saja dari luar atau dari dalam, berharap dia bisa bebas dari bising keluhan Armi.

Tapi ternyata sia-sia. Tetap saja Armi mengeluhkan bising yang awet di kuping.

Mungkin memang bukan kamarnya, pikirnya. Barang kali masalahnya ada di telinganya. Dalam hipotesanya, dia membayangkan sepasang serangga yang tanpa sengaja bersarang di dalam kupingnya, beranak-pinak dan hidup bahagia di sana.

Datanglah dia ke dokter THT kenamaan di Jakarta. Sang dokter memeriksa telinga Armi yang kanan juga yang kiri dengan alat yang menyerupai sapu lidi. Dia keheranan. Tak pernah ditemuinya telinga sebersih milik Armi. Jangankan keluarga serangga, debu saja nihil adanya.

Kata-kata dokternya terdengar seperti pujian, tapi membuat Armi makin bingung dengan bising yang tetap bersarang di kuping. Dalam keputusasaan, di bercerita ke seorang teman.

“Coba ke dukun. Siapa tahu itu arwah leluhur, membisikkan petuah-petuah bijaksana dari alam sana,” kata si teman.

Armi hanya diam.

“Atau nomor togel,” lanjut temannya.

Persetan dengan petuah atau nomor togel, Armi akhirnya pergi ke dukun untuk menyingkirkan arwah leluhur (jika benar). Meski dia sebenarnya tak yakin temannya benar atau cuma ngawur.

Sampailah dia di tempat dukun andalan sang teman. Sang dukun terkenal dengan mata ketiganya, yang bisa melihat yang tak terlihat, mendengar yang tak terdengar, dan merasakan yang tak terasakan.

Tapi begitu melihat sosok Armi, sang dukun hanya mengernyit. Mata ketiganya tak melihat apa-apa di telinga armi. Lebih tepatnya, mata ketiganya tak melihat apa-apa sama sekali pada diri Armi. Gelap.

Dalam rasa frustasi karena mata ketiganya tak berfungsi, sang dukun tetap ingin memberikan solusi.

“Mungkin bisingmu bukan datang dari telinga, tapi dari isi kepala.”

Benar juga! Bodoh sekali Armi. Bagaimana dia bisa luput menyadari asal dari bisingnya sendiri. Mengetahui itu, dia langsung bergegas pulang ke rumah, sambil berterima kasih banyak-banyak ke sang dukun.

Untuk bising di dalam kepala, Armi sudah punya jawabannya. Belajar dari ayahnya, dia sumpal telinganya dengan sebuah peluru sebesar gundu menggunakan pistol genggam berperedam. Biar tidak berisik, katanya.

Akhirnya, hening.

Leave a comment