Mas Kusrin Idolaque

Ini Mas Kusrin, abang warung di dekat kosan yang kuminta whatsapp-nya untuk mengirimkan galon (tapi sampai sekarang gak pernah dikirimkan karena chat terakhirnya bilang galon habis dan aku keburu bete jadi aku beli di Alfamart sampai sekarang).

Sekian.

Cita-Citaku

Dulu seorang teman pernah bertanya,
“Kalau hidup di dunia ini gak perlu uang, kamu mau jadi apa?”

Waktu itu aku berpikir keras sekali.

Iya ya? Aku mau jadi apa. Rasanya aku gak mau jadi apa-apa. Aku bekerja juga cuma ingin dapat uang. Biar bisa beli makan dan tidur tenang.

Kalau gak perlu uang, aku mau jadi apa?

Aku diam sebentar sambil mengulang-ngulang pertanyaannya. Biar kelihatan mikir.

Kemudian aku tahu jawabannya.

Aku tersenyum sambil bilang:
“Aku mau jadi biksu.”

Dunia / Kamar

Bu Ida selalu bilang, “Kamar itu cerminan pemiliknya.”

Kamar kotor, pemilknya jorok. Kamar bersih, pemiliknya rajin. Logic no brainer semacam itulah.

Lama kelamaan aku mulai percaya kalimat itu, dengan sedikit penyesuaian:
“Kamar itu cerminan kondisi pemiliknya.”

Setiap kali dunia sedang tai-tainya, kamarku selalu berantakan. Dan lebih menyebalkannya, itu jadi sebuah lingkaran setan. Karena dunia tai, kamarku jadi berantakan. Karena kamarku berantakan, duniaku jadi semakin tai. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Karena belakangan dunia sedang tai-tainya, hari ini kusempatkan buat membereskan kamar. Setelah selesai, dunia tetap tai sih, tapi setidaknya kamarku ga berantakan.

Seminggu Sebelum Hening

Seminggu sebelum kejadian, Armi selalu mengeluh kos ini terlalu riuh. Katanya terlalu banyak bising di kuping yang bikin dia pusing.

Sebenarnya kami bingung, karena kos ini sunyi sesunyi-sunyinya. Bunyinya rasanya malu-malu buat lewat, apalagi bising.

Tapi dia mengeluh dan terus mengeluh, sampai bikin bapak kos kami jenuh. Bapak kos akhirnya memasang peredam kedap suara yang bisa menangkal bising apa saja dari luar atau dari dalam, berharap dia bisa bebas dari bising keluhan Armi.

Tapi ternyata sia-sia. Tetap saja Armi mengeluhkan bising yang awet di kuping.

Mungkin memang bukan kamarnya, pikirnya. Barang kali masalahnya ada di telinganya. Dalam hipotesanya, dia membayangkan sepasang serangga yang tanpa sengaja bersarang di dalam kupingnya, beranak-pinak dan hidup bahagia di sana.

Datanglah dia ke dokter THT kenamaan di Jakarta. Sang dokter memeriksa telinga Armi yang kanan juga yang kiri dengan alat yang menyerupai sapu lidi. Dia keheranan. Tak pernah ditemuinya telinga sebersih milik Armi. Jangankan keluarga serangga, debu saja nihil adanya.

Kata-kata dokternya terdengar seperti pujian, tapi membuat Armi makin bingung dengan bising yang tetap bersarang di kuping. Dalam keputusasaan, di bercerita ke seorang teman.

“Coba ke dukun. Siapa tahu itu arwah leluhur, membisikkan petuah-petuah bijaksana dari alam sana,” kata si teman.

Armi hanya diam.

“Atau nomor togel,” lanjut temannya.

Persetan dengan petuah atau nomor togel, Armi akhirnya pergi ke dukun untuk menyingkirkan arwah leluhur (jika benar). Meski dia sebenarnya tak yakin temannya benar atau cuma ngawur.

Sampailah dia di tempat dukun andalan sang teman. Sang dukun terkenal dengan mata ketiganya, yang bisa melihat yang tak terlihat, mendengar yang tak terdengar, dan merasakan yang tak terasakan.

Tapi begitu melihat sosok Armi, sang dukun hanya mengernyit. Mata ketiganya tak melihat apa-apa di telinga armi. Lebih tepatnya, mata ketiganya tak melihat apa-apa sama sekali pada diri Armi. Gelap.

Dalam rasa frustasi karena mata ketiganya tak berfungsi, sang dukun tetap ingin memberikan solusi.

“Mungkin bisingmu bukan datang dari telinga, tapi dari isi kepala.”

Benar juga! Bodoh sekali Armi. Bagaimana dia bisa luput menyadari asal dari bisingnya sendiri. Mengetahui itu, dia langsung bergegas pulang ke rumah, sambil berterima kasih banyak-banyak ke sang dukun.

Untuk bising di dalam kepala, Armi sudah punya jawabannya. Belajar dari ayahnya, dia sumpal telinganya dengan sebuah peluru sebesar gundu menggunakan pistol genggam berperedam. Biar tidak berisik, katanya.

Akhirnya, hening.